Rabu, 04 Februari 2009

KAITAN KEUNGGULAN KOMPETITIF WILAYAH DENGAN PERTUMBUHAN WILAYAH

Bagi daerah yang kalah bersaing.Daya saing wilayah dapat kita identifikasikan melalui daya saing ekonomi, yang terdiri dari keunggulan berbanding (comparative advantage); keunggulan ini merupakan keunggulan yang merupakan modal alami dari suatu wilayah, atau dalam artian mengandalkan sumberdaya alam dan letak geografis wilayah tersebut. Kedua adalah keunggulan bersaing (competitive advantage), keunggulan ini adalah kebalikan dari keunggulan berbanding. Keunggulan bersaing mengandalkan faktor-faktor non-alam dan merupakan sesuatu yang dibuat dan diolah sendiri oleh manusia. Contohnya adalah faktor ekonomi, politik, kebijakan, strategi bisnis, teknologi dan sumberdaya manusia.

Suatu wilayah yang mempunyai kekayaan alam melimpah dibandingkan dengan wilayah lain akan berbuat lebih banyak untuk mengembangkan potensi wilayah tersebut yaitu dengan mengeksploitasi apa yang ada dengan tidak mengesampingkan kelestarian. Lokasi yang strategis juga akan lebih mempermudah dalam akses keluar dan melakukan distribusi hasil atau produk daerah tersebut. Dengan kelancaran berupa tersedianya sumberdaya alam dan kemudahan aksesibilitas akan mempercepat pertumbuhan wilayah tersebut. Bila kita membandingkan dengan wilayah yang miskin sumberdaya alam serta letaknya yang kurang strategis maka tidak mudah dalam menumbuhkan wilayah tersebut, kalaupun dapat maka akan memerlukan waktu yang sangat lama.

Tidak hanya itu saja, faktor non-alam juga ikut berperan dalam pertumbuhan wilayah. Tanpa manusia yang berkualitas maka dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada akan tidak efektif dan efisien dan akhirnya merugikan daerah tersebut. Dalam pemanfaatan ini diperlukan suatu kebijakan, strategi bisnis yang tepat dan teknologi yang mendukung kegiatan tersebut. Dengan tersedianya semua modal baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi, site yang strategis, strategi bisnis dan lain-lain maka suatu wilayah akan mempunyai keunggulan kompetitif yang lebih tinggi daripada daerah lain yang miskin. Daerah yang mempunyai keunggulan kompetitif wilayah inilah yang akan dengan cepat menumbuhkembangkan wilayahnya. Daerah ini jugalah yang nanti akan menjadi sentral ekonomi

AGLOMERASI

Agomerasi adalah gabungan, kumpulan dua atau lebih pusat kegiatan, tempat pengelompokan berbagai macam kegiatan dalam satu lokasi atau kawasan tertentu, dapat berupa kawasan industri, permukiman, perdagangan, dan lain-lain (yang dapat saja tumbuh melewati batas administrasi kawasan masing-masing, sehingga membentuk wilayah baru yang tidak terencana secara sempurna )
Terdapat beberapa teori yang berusaha mengupas tentang masalah aglomerasi. Istilah aglomerasi muncul pada dasarnya berawal dari ide Marshall tentang penghematan aglomerasi (agglomeration economies) atau dalam istilah Marshall disebut sebagai industri yang terlokalisir (localized industries). Agglomeration economies atau localized industries menurut Marshall muncul ketika sebuah industri memilih lokasi untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh keuntungan apabila mengikuti tindakan mendirikan usaha disekitar lokasi tersebut.
Konsep aglomerasi menurut Montgomery tidak jauh beda dengan konsep yang dikemukakan oleh Marshall, dia mendefinisikan penghematan aglomerasi sebagai penghematan akibat adanya lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan pengelompokan perusahaan, tenaga kerja, dan konsumen secara spasial untuk meminimisasi biaya-biaya seperti biaya transportasi, informasi dan komunikasi. Sementara markusen menyatakan bahwa aglomerasi merupakan suatu lokasi yang tidah mudah berubah akibat adanya penghematan eksternal (pengurangan biaya yang terjadi akibat aktivitas di luar lingkup perusahaan/ pabrik yaitu dengan beraglomerasi secara spasial) yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa-jasa; dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual. Dengan beraglomerasi secara spasial maka penghematan biaya terjadi berkat adanya perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama bersaing satu sama lain dalam memperoleh pasar atau konsumen. Penghematan juga terjadi karena adanya tenaga terampil dan perusahaan.
Suatu aglomerasi tidak lebih dari sekumpulan kluster. Aglomerasi berbeda dengan kluster, terutama dilihat dari sisi skala, keanekaragaman, dan spesialisasi. Aglomerasi dapat dilihat melalui teori klasik, pada teori ini aglomerasi dianggap sebagai proses yang menghasilkan kota . kendati demikian, setiap aglomerasi tidak selalu memunculkan suatu kota. Perbedaan antara aglomerasi dan kota terletak terutama pada perbedaan antara “kesederhanaan” (simplicity) dan kompleksitas. Teori klasik mengenai aglomerasi berargumen bahwa aglomerasi muncul karena pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi (agglomeration economies), baik karena penghematan lokasi maupun penghematan urbanisasi dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan. Penghematan lokasi terjadi apabila biaya produksi perusahaan pada suatu industri menurun ketika produksi total dari industri tersebut meningkat. Atau dengan berlokasi di dekat perusahaan lain dalam industri yang sama, suatu perusahaan dapat menikmati beberapa manfaat. Sedangkan penghematan urbanisasi (urbanization economies) terjadi bila biaya produksi suatu perusahaan menurun ketika produksi seluruh perusahaan dalam wilayah perkotaan yang sama meningkat.


DAFTAR PUSTAKA
Hidayati, Amini, & Kuncoro, Mudrajat. 2004. Konsentrasi Geografis Industri Manufaktur di Greater Jakarta dan Bandung Periode 1980-2000: Menuju Satu Daerah Aglomerasi?. Empirika, Vol. 17, No.2
Kuncoro, Mudrajat. 2002. Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. UPP AMP YKPN. Jogjakarta
http://www.bangda.depdagri.go.id/modules.php?name=Kamus&abjad=

Analisis LQ (Location Quotient)

Di dalam model ekonomi basis, perekonomian terbagi menjadi dua yaitu sektor basis dan non basis. Sektor basis disebut juga sektor ekspor dan akan menentukan perkembangan wilayah. Kedua sektor memiliki hubungan, dimana jika sektor basis berkembang, maka pada gilirannya akan meningkatkan pula kegiatan non basis. Hal ini sering disebut dengan multiplier effect. Untuk mengetahui sektor basis dan non basis digunakan metode Location Quotient (LQ), sedangkan untuk effect multiplier digunakan teknik pengganda basis atau multiplier effect.
Analisis LQ (Location Quotient) adalah suatu metode yang digunakan untuk mengetahui tingkat spesialisasi dan mengindikasikan sektor basis atau leading sector. Sektor basis dan non basis dapat dicari dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ) ini. Terdapat tiga kisaran nilai dari LQ, yang pertama jika LQ > 1 mengindikasikan bahwa suatu wilayah mempunyai spesialisasi yang tinggi (basis), yang kedua jika LQ < 1 mengindikasikan bahwa suatu wilayah mempunyai spesialisasi yang rendah (non basis) dan yang terakhir jika LQ = 1 mengindikasikan bahwa suatu wilayah mengalami self sufficient (spesialisasi sama).
Untuk mengetahui LQ dibutuhkan data tentang PDRB terlebih dahulu. PDRB yang digunakan dalam kasus ini adalah PDRB kabupaten Kota Jogjakarta tahun 2004 dan 2005. Untuk memperoleh nilai LQ kita harus mengetahui nilai PDRB tingkat wilayah yang lebih tinggi yang digunakan sebagai daerah acuan (dimana daerah penelitian menjadi bagian di dalamnya), dalam hal ini adalah Propinsi D.I. Jogjakarta.
Di dalam hasil perhitungan LQ dapat diketahui sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor basis ataupun sektor unggulan di Kota Jogjakarta. Pada tahun 2004 sektor yang merupakan sektor basis atau leading sector yaitu: 1) sektor Listrik, gas dan air bersih, 2) sektor perdagangan, hotel dan restoran, 3) sektor pengangkutan dan komunikasi, 4) sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta 5) sektor jasa-jasa lainnya, dengan sektor pengangkutan dan komunikasi sebagai sektor basis unggulan kota Jogjakarta karena mempunyai nilai LQ paling besar sedangkan sektor: 1) pertanian, 2) pertambangan dan penggalian, 3) industri pengolahan dan 4) bangunan merupakan sektor non basis. Di tahun selanjutnya yaitu tahun 2005 ternyata nilai LQ cenderung stabil dan hampir sama, hal ini dapat dikatakan bahwa struktur perekonomian kota Jogjakarta tidak berubah serta masih mempunyai sektor basis yang sama dengan tahun sebelumnya.
Selain hal tersebut diatas, juga dapat diketahui bahwa dengan berkembangnya sektor-sektor tersebut diatas (merupakan sektor non pertanian) maka terdapat kebutuhan akan lahan untuk membuka permukiman atau bangunan serta infrastruktur lainnya di Kota Jogjakarta. Hal ini secara langsung akan mempengaruhi luas lahan pertanian yang ada. Karena semakin meningkatnya kebutuhan akan lahan non pertanian maka lahan pertanian akan berkurang karena akan beralih fungsi menjadi lahan permukiman atau bangunan. Pengaruh lainnya adalah menurunnya daya dukung lahan pertanian Kota Jogjakarta dalam memenuhi pangan penduduknya, sehingga dibutuhkan impor dari daerah lainnya untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Akan tetapi dengan berkembangnya sektor non pertanian maka daerah ini merupakan daerah yang lebih maju dibandingkan daerah lainnya yang lebih condong berbasis sektor pertanian.

Menghitung :
Location Quotient (LQ)
Untuk mengetahui tingkat spesialisasi dan mengindikasikan sektor basis atau leading sector.

LQ=(Si/Ni)/(S/N)



Keterangan : Si = Jumlah variabel kegiatan i di daerah penelitian (kabupaten Kota Jojakarta)
Ni = Jumlah variabel kegiatan i di daerah yang lebih luas / acuan (Propinsi D.I. Jogjakarta)
S = Jumlah seluruh variabel kegiatan di daerah penelitian (kabupaten Kota Jogjakarta)
N = Jumlah seluruh variabel kegiatan di daerah yang lebih luas (Propinsi D.I. Jogjakarta)

Kisaran nilai LQ =
LQ > 1 spesialisasi tinggi (basis)
LQ < 1 spesialisasi rendah (non basis)
LQ = 1 self sufficient, spesialisasi sama

Sumber Daya Alam (SDA)

Sumber daya alam adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang ada di sekitar alam lingkungan hidup kita. Sumber daya alam bisa terdapat di mana saja seperti di dalam tanah, air, permukaan tanah, udara, dan lain sebagainya. Contoh dasar sumber daya alam seperti barang tambang, sinar matahari, tumbuhan, hewan dan banyak lagi lainnya.

A. Sumber daya alam berdasarkan jenis :
- sumber daya alam hayati / biotik
adalah sumber daya alam yang berasal dari makhluk hidup.
contoh : tumbuhan, hewan, mikro organisme, dan lain-lain
- sumber daya alam non hayati / abiotik
adalah sumber daya alam yang berasal dari benda mati.
contoh : bahan tambang, air, udara, batuan, dan lain-lain

B. Sumber daya alam berdasarkan sifat pembaharuan :
- sumber daya alam yang dapat diperbaharui / renewable
yaitu sumber daya alam yang dapat digunakan berulang-ulang kali dan dapat dilestarikan.
contoh : air, tumbuh-tumbuhan, hewan, hasil hutan, dan lain-lain
- sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui / non renewable
ialah sumber daya alam yang tidak dapat di daur ulang atau bersifat hanya dapat digunakan sekali saja atau tidak dapat dilestarikan serta dapat punah.
contoh : minyak bumi, batubara, timah, gas alam.
- Sumber daya alam yang tidak terbatas jumlahnya / unlimited
C. Sumber daya alam berdasarkan kegunaan atau penggunaannya
- sumber daya alam penghasil bahan baku
adalah sumber daya alam yang dapat digunakan untuk menghasilkan benda atau barang lain sehingga nilai gunanya akan menjadi lebih tinggi.
contoh : hasil hutan, barang tambang, hasil pertanian, dan lain-lain
- sumber daya alam penghasil energi
adalah sumber daya alam yang dapat menghasilkan atau memproduksi energi demi kepentingan umat manusia di muka bumi.
misalnya : ombak, panas bumi, arus air sungai, sinar matahari, minyak bumi, gas bumi, dan lain sebagainya.

Didalam pemanfaatannya harus lebih bijaksana, karena dengan semakin bertambahnya jaman maka tingkat ketersediaan sumberdaya alam akan semakin kecil. Hal ini karena pertumbuhan jumlah penduduk meningkat maka tingkat aktivitasnya juga seiring bertambah yang pada akhirnya akan meningkatkan demand akan kebutuhan hidupnya. Dengan kemajuan teknologi sekarang ini maka manusia harus dapat menemukan inovasi sebagai pengganti dari sumberdaya alam yang telah hilang ataupun menipis. Ditemukannya bahan bakar biodiesel dari tanaman jarak diharapkan mengurangi tingkat ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui (bisa akan tetapi memerlukan jutaan tahun).

Stratifikasi Sosial

- Stratifikasi sosial selalu ada di setiap masyarakat sebagai gejala umum
- Semakin modern masyarakat semakin kempleks sistem stratifikasi sosialnya
- Pembedaan penduduk dalam kelas secara hierarkhis (Pitirim Sorokim)
- Pembedaan tersebut didasarkan pada faktor ekonomi, karena tidak adanya keseimbangan antara: hak, kewajiban, tanggungjawab dan pengaruh (Aristoteles)
Karena adanya penghargaan pada:
* kekayaan * kekuasaan
* kehormatan * penguasaan ilmu pengetahuan

Proses pengkelasan berkembang karena:
1. Konflik dalam masyarakat
2. Perbedaan dalam:
- distribusi hak istimewa
- sistem penghargaannya
- sistem pertentangan
- lambang, kedudukan, dan simbol
- solidaritas: pola interaksi, sistem kepercayaan, status, aktivitas

Sifat sistem pelapisan:
Tertutup (closed social stratification), jarang didapati adanya mobilitas sosial vertikal dan horisontal.
Diperoleh lewat keturunan, berlaku kekal, ethnosentris tinggi, terikat tradisi, endogami, dan hubungan dengan kelompok sangat terbatas
Contoh: kasta, garis keturunan

Terbuka (open social stratification), terdapat mobilitas sosial yang dapat dijangkau lewat prestasi, usaha, dengan memenuhi kriteria tertentu.

Kelas Sosial; sebagai bagian/unsur stratifikasi sosial yang menunjukkan posisi seseorang berada. Mereka yang berada dalam satu kelas biasanya memiliki sejumlah kesamaan; a.l.:
sikap, nilai, gaya hidup; yang diantaranya ditentukan oleh: kekayaan, kelahiran, pendidikan, pekerjaan, dll.
Di dalam kelas sosial dapat dikembangkan pula sub kultur, dan sekaligus akan mengembangkan kesadaran kelas.

Makna Kelas Sosial.
Penentu peluang dan kebahagiaan hidup
Tempat menanamkan ethnosentrisme
Penentu kepribadian dan moralitas
Pembeda identitas
Pembentuk sikap dan gaya hidup
Penentu tugas
Penentu peluan berkompetisi

Mobilitas sosial: perpindahan posisi dari kelas sosial satu ke yang lain, baik naik, turun atau sejajar.
Keuntungannya:
muncul dan berkembangnya dinamika masyarakat adanya akses untuk tidak stagnan

Kerugiannya:
kawatir terjadi perubahan kemapanan dan kekecewaan kecenderungan mempertahankan “status quo” semakin besar tugas dan tanggungjawab

Faktor determinan dalam mobilitas sosial:
- Struktural (pekerjaan, ekonomi, demigrafi)
- Individual (kemampuan, responsifitas, nasib)

Kebudayaan (culture)

Kebudayaaan:
Hasil cipta, rasa, karsa, dan karya manusia dalam hidup bermasyarakat (Selo Sumardjan & Soemardi)
Cara Berpikir, berperasaan, dan bertindak yang terstandard serta diperlukan dalam bermasyarakat (Zanden)
Kompleks yang mencakup: pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan maupun kebiasaan dalam masyarakat (Taylor)
Cermin kehidupan bermasyarakat

Kebudayaan :
sebagai tolok ukur tingkat peradaban (civilization) masyarakat
dan sekaligus sebagai faktor independen dalam masyarakat; artinya segala sesuatu dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya (cultural determinism)

Sejumlah konsep yang berkaitan dengan Kebudayaan:
Sub culture: kultur yang menjadi bagian dari kebudayaan yang lebih besar
Counter culture: kultur atau sub-kultur yang memiliki sifat berbeda dan bahkan bertentangan dengan kebudayaan besar
Cultural relativity: menunjukkan mengenai efek (baik-buruk) yang bersifat relatif pada seting kebudayaan yang lebih luas
Cultural integration: tingkat keharmonisan hubungan dari berbagai elemen budaya dalam masyarakat
Ideal culture: pola budaya yang dianggap paling cocok/baik
Real culture: pola perilaku yang benar-benar dilaksakan dalam masyarakat.
Ethos budaya: nilai inti yang menjadi acuan pokok/baku
Ethnocentrism: Kecenderungan dalam masyarakat yang menganggap bahwa ethos dan budaya masyarakatnyalah yang paling baik.

Dalam proses penilaian diperlukan adanya “the definition of the situation”; yakni pemahaman dan penilaian atas situasi dan kondisi yang sedang berlangsung.


Pengelompokan Kebudayaan:

Kebudayaan material : hasil karya nyata dan maujud
Kebudayaan non-material : ide/gagasan, nilai, norma dsb.





Unsur kebudayaan:
Peralatan dan perlengkapan hidup
Pencaharian dan sistem ekonomi
Sistem kemasyarakatan
Bahasa
Kesenian
Sistem pengetahuan
Religi atau kepercayaan

Masing-masing unsur diurai/dijabarkan dalam berbagai bentuk dan pola kegiatan: cultural activity dan dipecah lagi dalam bagian yang lebih kecil: trait-complex atau item

Manfaat Kebudayaan:
Sebagai petunjuk dan patokan untuk bersikap dan bertindak dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat; yang mewujud dalam bentuk: Nilai dan Norma

Nilai: sebagai kriteria untuk memaknai obyek, ide, tindakan dan berbagai bentuk aktivitas masyarakat
Norma : merupakan aturan mengenai pola perilaku masyarakat

Kepribadian dan Proses Sosialisasi
Kepribadian: organisasi sikap, emosi, ekspresi, dan watak seseorang yang maujud dalam kebiasaan, keyakinan dan nilai diri
Proses sosialisasi: proses penanaman nilai dan norma masyarakat kepada segenap anggotanya agar dapat di-”internalisasikan” dalam tindakan nyata
Internalisasi: proses menjadikan bagian dalam diri seseorang semua nilai dan norma masyarakat di lingkungannya.

Faktor yang mempengaruhi kepribadian:
Lingkungan fisik
Keturunan atau pewarisan
Lingkungan sosial - kultural
Pengalaman unik/khusus dan khas

Teori yang berkaitan dengan kepribadian:
Teori Cermin Diri atau The looking glass self (Charles Horton Cooley); bahwa gambaran diri seseorang diketahui lewat:
membayangkan bagaimana seseorang tampak pada orang lain
membayangkan bagaimana penilaian orang lain atas dirinya
bagaimana perasaan seseorang atas penilaian tersebut itu semua akan menjadi acuan dan arahan dalam sosialisasi dan pembentukan kepribadian seseorang.
2. Teori Peran (George Herbert Mead)
Role taking: melakukan peran atas posisi yang tidak dimiliki oleh pelakunya
Role playing: melakukan peran atas posisi/status yang dimilikinya

3. Teori Ego (Sigmun Freud)
Seseorang selalu dalam kondisi konflik; antara:
Id: “kedirian” seseorang yang mengorientasikan kepentingan sendiri lebih utama dan mengabaikan di luarnya
Super ego: “kedirian” yang ideal; lebih mementingkan orang lain dan mengabaikan dirinyasendiri
Ego: mekanisme kontrol yang “rasional” sebagai penengah konflik antara id dan super ego.

Perspektif Dalam Sosiologi

Kejadian yang berkembang di alam semesta oleh para ilmuwan diasumsikan memiliki tertib, keteraturan dan pola/kejaegan yang jelas. Anggapan dan asumsi inilah yang kemudian disebut: Perspektif/Pendekatan/Paradigma.

A. Perspektif Evolusionis
Dikembangkan dari gagasan Comte (1798-1857) dan Spencer (1820 - 1903)
Mencoba memahami bagaimana masyarakat tumbuh dan berkembang
Comte : dari teologis menjadi positifistik
Spencer : dianalogkan seperti organ tubuh manusia

B. Perspektif Interaksionis
Memfokuskan pemahamannya pada interaksi yang dilakukan orang. Gagasan ini dikembangkan oleh George Herbert Mead (1863 - 1931) dan Charles Horton Cooley (1846 - 1929). Interaksi yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan simbol, tanda, kata, dan isyaratà lewat tulisan/lisan.
Sementara itu William I. Thomas menyebutkan bahwa manusia bertindak tepat manakala telah tahu sifat dan situasinya (the definition of the situation)
Sementara Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1966) dalam Social Construction of Reality, menyatakan bahwa masyarakat adalah obyektif tapi sekaligus subyektif (sangat tergantung dari mana melihatnya)

Masyarakat dikatakan baik dan buruk, pelayan atau penindas:
merupakan kenyataan penilainya

C. Perspektif Fungsionalis
Masyarakat dipahami sebagai jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisir dan teratus menurut norma dan nilai yang berlaku.
Tokohnya: Talcot parson, Kingsley Davis dan Robert K. Merton.
Sosiologi menjelaskan mengenai keteraturan sosial yang sangat mendasar berkaitan dengan proses sosial guna meningkatkan integrasi dan solidaritas.
Dalam organisasi formal - individu menciptakan peraturan dan melakukan pengaturan sebagai alat untuk mengkoordinasikan kegiatan dalam upaya mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.
Kelompok atau komunitas melaksanakan kegiatan atau tugas secara berkesinambungan dan fungsional. Perubahan akan mengganggu keseimbangan. Namun demikian perubahan yang terjadi biasamnya bersifat sementara dan selanjutnya akan muncul keseimbangan yang baru.

D. Perspektif Konflik

Perspektif ini menjelaskan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan konflik terus menerus, baik antar individu maupun kelompok.

Karl Marx (1818 - 1883) menjelaskan bahwa penggerak utama konflik tersebut adalah pertentangan dan eksploitasi antar kelompok.
Tokohnya:
+ Wright Mills * Lewis Coser
+ Rahlp Dahrendorf + Collins, dan
+ Raymond Aron

Pertanyaan yang diajukan para penganut konflik:
Bagaimanakah pola perilaku dibentuk oleh setiap kelompok /kelas dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhannya?
Bagaimana kelompok dominan mencapai dan mempertahankan posisi mereka?
Bagaimana mereka memanipulasi lembaga untuk melindungi kepentingan dan posisinya?
Siapakah yang diuntungkan dan dirugikan?
Bagaimana masyarakat dikembangkan agar adil dan manusiawi?

Pengertian Sosiologi

1. Auguste Comte:
Merupakan ilmu positif tentang masyarakat; artinya perkembangan ilmu
pengetahuan berjalan mengikuti penalaran intelektual - logis

3 tahap perkembangan:
Teologis: gejala muncul dari kekuatan langsung supranatural
Metafisik; dimana gejala dihasilkan oleh kekuatan abstrak
Positif; gejala dipahami dengan pengamatan dan penalaran

2. Max Weber:
Merupakan ilmu yang berhubungan dengan pemahaman interpretatif tentang
tindakan sosial.
Tindakan sosial bersifat subyektif (verstehen); diperlukan adanya emphaty
(kemampuan untuk menempatkan diri pada pola pikir orang yang akan
dijelaskan perilakunya)

3. Emile Durkheim:
Merupakan ilmu yang mempelajari fakta sosial yang berkembang dalam
masyarakat. Gejala sosial bersifat riil/nyata dan mempengaruhi kesadaran
orang

Kharakteristik fakta sosial:
Eksternal; secara instingtif dilakukan orang (diluar kesadaran individu)
Memaksa; diarahkan dan diatur oleh lingkungannya
Umum; berada dalam segenap aspek kehidupan masyarakat.

Perkembangan Sosiologi:

* Istilah Sosiologi:
Dikemukakan pertama kali oleh Comte tahun 1838 dalam buku: Positive
Philosophy. Sosiologi perlu dipahami dengan melakukan pengamatan dan
klasifikasi sistematik, bukannya lewat kekuasaan dan spekulasi

* Sosiologi sebagai suatu proses evolusi sosial (Herbert Spencer; 1876, di Inggris:
dalam buku: The Principle of Sociology)
Evolusi sosial masyarakat bersifat organik; artinya:
Ada ketergantungan dan proses perkembangan
Berkembang dari yang kecil dan sederhana menjadi besar dan kompleks


* Sosiologi sebagai tindakan sosial (Lester F. Ward di Amerika; 1883, dalam buku:
Dynamic Sociology. Bahwa kemajuan dalam masyarakat berjalan melalui
tindakan yang cerdik; lewat pengamatan, penyusunan dan klasifikasi data
secara nyata.

* Pengembangan metode ilmiah dalam sosiologi dikemukakan oleh Durkheim (1895
dalam buku:
The Rules of Sociological Method dan Suicide
Konsep utama yang dikemukakannya adalah “solidaritas Sosial”, yang diklasifikasikan menjajdi 2:
# Solidaritas sosial mekanik: berlaku dalam masyarakat desa/rural dan
tradisional
# Solidaritas sosial organik: berlaku dalam masyarakat perkotaan/urban-
modern

POLA PERMUKIMAN

Pengertian Pola Permukiman
Secara etimologis pola permukiman berasal dari dua kaca pola dan permukiman. Pola (pattern) dapat diartikan sebagai susunan struktural, gambar, corak, kombinasi sifat kecenderungan membentuk sesuatu yang taat asas dan bersifat khas (Depdikbud, 1988), dan dapat pula diartikan sebagai benda yang tersusun menurut sistem tertentu mengikuti kecenderungan bentuk tertentu. Pengertian ini tampaknya hampir mirip dengan pengertian model, atau susunan sesuatu benda. Pengertian pola, permukiman (settlement patterns) Bering dirancukan dengan pengertian pola persebaran permukiman (distribution patterns of settlement). Dua pengertian tersebut pada dasarnya sangat berbeda, terutama jika ditinjau dari aspek bahasannya (Yunus, 1989).

1) Bahasan pola permukiman perlu diperhatikan dari tinjauan individual permukiman atau dari tinjauan kelompok permukiman.
a. Tinjauan pola permukiman dari segi individual, lebih mengarah kepada bahasan bentuk-bentuk permukiman secara individual, sehingga, dapat dibedakan dalam kategori pola permukiman bentuk memanjang, pola permukiman bentuk melingkar, pola permukiman bentuk persegi panjang, pola permukiman bentuk kubus. Setup kategori pola permukiman masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori lebih rinci misalnya pola permukiman memanjang sungai, memanjang jalan, memanjang garis pantai, dan seterusnya
b. Tinjauan pola permukiman dari aspek kelompok lebih mengarah kepada bahasan sifat persebaran dari individu-individu permukiman dalam satu kelompok. Oleh karenanya dari sifat persebaran tersebut dapat dibedakan kedalam kategori pola persebaran permukiman secara umum yakni pola menyebar dan pola mengelompok. Analog dengan pola bentuk permukiman, setup kategori pola persebaran permukiman masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori lebih rinci misalnya pola persebaran permukiman menyebar teratur, menyebar tidak teratur, mengelompok teratur dan tidak teratur dan seterusnya‑
2) Pola persebaran permukiman membahas sifat persebaran kelompok permukiman sebagai satu satuan (unit) permukiman, juga dapat dibedakan menjadi dua kategori.
Tinjauan pola persebaran permukiman dari aspek bentuk persebaran kelompok permukiman, sehingga dapat dibedakan pola persebaran kelompok permukiman memanjang pola persebaran kelompok permukiman melingkar, pola persebaran kelompok permukiman sejajar, pola persebaran kelompok permukiman bujur sangkar, pola persebaran kelompok permukiman kubus. Setiap kategori pola, persebaran kelompok permukiman masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori Iebih rinci.

Tinjauan pola persebaran kelompok permukiman dari aspek sifat persebaran dari kelompok-kelompok permukiman, sehingga dapat dibedakan pola persebaran kelompok permukiman menyebar, dan pola persebaran kelompok permukiman memusat atau mengelompok. Setiap kategori pola persebaran kelompok permukiman tersebut juga masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori lebih rinci.
Pengertian pola permukiman dan persebaran (dispersion) permukiman mempunyai hubungan yang erat. Persebaran permukiman membicarakan hal dimana terdapat permukiman dan dimana tidak terdapat permukiman di suatu daerah.
permukiman
Dengan kata lain persebaran permukiman berbicara tentang lokasi permukiman. Disamping itu juga membahas cara terjadinya persebaran permukiman, serta fakto-faktor yang berpengaruh terhadap persebaran tersebut- Pola permukiman membicarakan sifat dari persebaran permukiman tersebut. Dengan kata lain pola permukiman secara umum merupakan susunan sifat persebaran permukiman dan sifat hubungan antara faktor-fektor yang menentukan terjadinya sifat persebaran permukiman tersebut,
Pengertian pola, permukiman di atas berbeda dengan pengertian pola pemukiman yang banyak menyangkut tentang berbagai tipe atau corak cara memindahkan penduduk dari daerah satu ke daerah lain. Sebagai contoh nyata adalah
program transmigrasi, yang kegiatannya mencakup proses pemindahan dari permukiman asal ke permukiman baru. Dalam cara memindahkan penduduk tersebut menggunakan berbagai cara yang akan membentuk pola-pola tertentu. Beberapa buku acuan hasil penulisan mengenai pokok-pokok pemukiman membahas tentang pola-pola pemukiman di negara-negara Asia Tenggara, yang membicarakan cara-cara pemin­dahan penduduk, tipe-tipe pelaksanaan, kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan
ijakan
cara tersebut (McAndrews, 1984). Pembicaraan pola pemukiman mempunyai pokok pembahasan yang berbeda dari pokok pembahasan pola permukiman. Namun demikian, terdapat kesamaan, yakni obyeknya tempat tinggal dan penduduk. Sesuai dengan tujuan pembahasan uraian selanjutnya ditekankan pada pola persebaran permukiman, dengan beberapa variasinya, serta beberapa faktor yang menentukan.
Variasi Pola Permukiman
Persebaran permukiman bersifat menentukan terhadap keanekaan pola permukiman. Persebaran-dari - aspek kepadatan bervariasi (jumlah luas permukiman dibagi jumlah luas wilayah dimana permukiman itu berada) dari sangat jarang hingga
1 dilihat dari segi dispersi, padat. Bila dill segi I i, dapat dibedakan menjadi mengelompok dan menyebar. Tinjauan lain dapat dilihat dari segi keteraturan persebaran, yakni teratur, dan tidak teratur. Beberapa pendapat tentang variasi pola permukiman dari pelbagai penulis dapat ditunjukkan sebagai berikut.
Hudson (1970) membedakan secara garis besar antara 1) pola permukiman mengelompok, dengan 2) pola permukiman menyebar. Pola persebaran permukiman mengelompok tersusun dari dusun-dusun atau bangunan-bangunan rumah yang lebih kompak dengan jarak tertentu, sedangkan pola persebaran permukiman menyebar terdiri dari dusun-dusun dan atau bangunan-bangunan rumah yang tersebar dengan jarak tidak­tertentu. Thorpe (1964) mengemukakan bahwa konsep dasar pola permukiman hanya terdapat dua tipe yang berbeda yang mendasarkan pada kenampakan yang bervariasi dari sangat tegas, yakni tipe pola memusat dengan tipe pola menyebar. Namun, dalam penjelasannya, bahwa perbedaan pola permukiman tersebut hanya dapat dipergunakan untuk pengelompokkan bangunan rumah sebagai permukiman atau tempat tinggal.
Pembagian pola permukiman menjadi due seperti itu juga dikemukakan oleh Van der Zee (1979) yang membedakan antara pola permukiman tersebar, dengan pola permukiman mengelompok. Namun, dibedakan pula antar pola permukiman tunggal, dengan pola permukiman ganda yang mengelompok Dijelaskan bahwa pembahasan pola permukiman itu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan persebaran permukiman serta letak dan situasinya. Pembagian pola tersebut, ternyata sedikit berbeda dari pembedaan pola permukiman yang dikemukakan Singh (1969)
saja Rambali Singh menggunakan istilah tipe permukiman. Atas dasar persebarannya permukiman dibedakan menjadi tiga tipe atau pola, yaitu 1) pola permukiman mengelompok, 2) permukiman semi mengelompok, dan pola permukiman menyebar.
Sebenarnya, variasi pola permukiman tersebut di etas, pada dasarnya sama dalam memberikan klasifikasi, hanya saja mereka belum memberikan kelas-kelas pola permukiman secara konkrit batas-batasnya Pembedaan pola tersebut oleh Bunce (1982) dianggap tidak kuat atau kurang meyakinkan, karena pada jarak bangunan rumah seberapa untuk pola permukiman yang mengelompok, dan jarak antar bangunan seberapa untuk pola menyebar. Hal ini sangat beralasan, mengingat hingga seat itu belum ada kesepakatan tentang jarak minimum antar bangunan rumah untuk pola permukiman menyebar ataupun mengelompok, sehingga tidak dapat digunakan untuk­analisis.
Hal di etas menimbulkan ketidakpuasan bagi pakar-pakar yang akan mengapapli‑
kasikan. Haggett (1970) mengemukakan:
"ketidakpuasan orang membincangkan pola permukiman secara deskriptip, menimbulkan gagasan untuk membincangkannya secara. kualitatif".
Dengan pertimbangan untuk tujuan pembahasan pola permukiman secara kuantitatip tersebut Haggett membedakan pola permukiman menjadi tiga: a) uniform (seragam), b) random (acak), dan c) clustered (mengelompok). Dengan cara demikian pembandingan antara pola permukiman dapat dilakukan dengan lebih baik, bukan saja dari segi waktu, tetapi juga dalam segi ruang. Demikianlah beberapa variasi pola permukiman menurut beberapa penulis, tentu saja masih banyak lagi penulis lain yang membahas variasi pola tersebut, tampaknya secara tegas variasi dalam pembicaraan terakhir itulah yang dapat diukur kriterianya Masalahnya, bagaimana cara menentukan pola-pola tersebut secara kuantitatif, akan dibahas pada. sub bab berikut.
Beberapa Ukuran Pola Permukiman
Zee (1979) mengemukakan bahwa permukiman adalah suatu sumber informasi tentang manusia dan aktivitasnya di dalam habitatnya Dengan demikian pola permukiman memberikan kesan tentang persebaran fisik permukimannya beserta kepadatan penghuninya (penduduknya). Beberapa model teoritikal telah disusun berkenaan dengan struktur ideal pola permukiman. Namun demikian seringkali cara analisis secara nyata menunjukkan fakta berbeda, dimana dari teori lebih banyak memberikan informasi cara lingkungan alami mempengaruhi aktivitas manusia, pada hal kenyataan seringkali berbeda, justru aktivitas manusia dari aspek permukiman mempengaruhi lingkungan fisiknya
alami kaitannya dengan kuantifikasi pola permukiman ternyata beberapa penulis mengacu kepada pertimbangan jumlah penduduk di suatu daerah dalam kaitannya dengan tempat tinggal. Salah satu pengukuran pola permukiman dengan menggu­nakan perhitungan indeks aglomerasi, adalah pengukuran pengelompokan penduduk dan persebarannya yang dikemukakan Houston (1953) menggunakan indeks Demangoens (Hudson, 1970; Pacione, 1984; dan Zee, 1979):
E. N
K=
T
dimana:
K = the index ofagglomeration
E = the population of the comune excluding that of chief nucleated settlement N = the number of settlements excluding the chief centre
T = the total population of the commune.
Pengukuran dengan cara tersebut banyak kelemahannya, karena hanya mendasarkan pada jumlah penduduk yang setup saat selalu berubah, dan tidak diketahui seberapa besar batas kriteria. angka K untuk permukiman disebut mengelompok, dan berapa K permukiman disebut menyebar.
Derajad pengelompokan pola permukiman dapat pula ditunJukkan dengan menggunakan nilai per gridsquare. Secara ekstrim ukuran tersebut dapat dibedakan sebagai berikut (Zee, 1979):
Sangat mengelompok: bila seluruh penduduk dalam satu gridsquare berada dalam sepersepuluh luas daerah tersebut.
Sangat tersebar: bila hanya sepersepuluh penduduk pada gridsquare tersebut berada dalam sepersepuluh luas daerah.
Salah satu cara untuk mengukur pola permukiman dapat pula dilakukan dengan menggunakan "model dan analisis tetangga terdekat" atau nearest neighbour analysis, yaitu dengan menghitung besarnya parameter tetangga terdekat atau T dengan menggunakan rumus berikut (Hagget, 1975):
Ju
T=
Jh
dimana:
T = indeks penyebaran tetangga terdekat
Ju =jarak rata-rata yang diukur antara satu titik dengan titik tetangga yang terdekat
Jh = jarak rata-rata yang diperoleh andaikata semua titik mempunyai pola random (acak), yakni dihitung dengan rumus
-V2p
p = kepadatan titik dalam tiap kilometer persegi, yaitu jumlah titik (M dibagi dengan luas wilayah dalam kilometer persegi (A)
Untuk mengetahui apakah pola permukiman yang dianalisis, termasuk menge­lompok, random atau seragam, dibandingkan dengan continuum nilai parameter tetangga terdekat T untuk masing-masing pola yang dapat diperlihatkan:
T = 0 – 0,7 pola bergerombol (mengelompok); T = 0,71-1,4 pola acak (tersebar tidak merata; T = 1,41 - 2,15 pola tersebar merata


Faktor Pengaruh terhadap Pala Persebaran Permukiman
Terjadinya keanekaragaman pola persebaran permukiman sebagai wujud dari persebaran penduduk yang tidak merata Hal ini akan menimbulkan terjadinya pelbagai masalah yang bervariasi pula di antara wilayah satu dengan wilayah lainnya, balk bagi kehidupan penduduk beserta lingkungannya saat ini, maupun bagi rencana pengembangan permukiman itu sendiri pada mass mendatang. Oleh karenanya, pemahaman lewat penelitian yang mendasar mengenai bagaimana pola persebaran permukiman yang ada pada saat ini beserta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya suatu pola persebaran permukiman merupakan suatu usaha yang penting dan dapat mendukung landasan pola berfikir pemecahan masalah permukiman pada mass mendatang.
Persebaran permukiman mempunyai kaftan erat dengan persebaran penduduk. Persebaran penduduk membentuk persebaran permukiman, dengan pola-pola persebaran permukiman yang bervariasi. Shryock, et al. (1971) mengemukakan bahwa persebaran permukiman dipengaruhi oleh Mini (suhu dan curah hujan); topografi
grafi
bentuk lahan, sumberdaya alam; hubungan keruangan; faktor budaya; serta faktor demografi. Secara garis besar terjadinya pola permukiman menurut Shryock tersebut dipengaruhi oleh faktor fisik balk alarm maupun buatan, faktor sosial-ekonomi, dan faktor budaya manusia atau penduduk.
Faktor-faktor pengaruh tersebut menurut Singh (1969) yang menerapkan dalam penelitiannya pola permukiman di salah satu bagman daerah di India, hanya ditekankan pada faktor fisik, sejarah, tradisi, dan sosial ekonomi, dengan perincian sebagai berikut:
- faktor fisik mencakup relief, sumber air, jalur drainase, dan kondisi tanah-, faktor sosial ekonomi meliputi tata guns lahan, penyakapan tanah, rotasi tanaman, transportasi dan komunikasi, serta kepadatan penduduk-,
faktor sejarah dan tradisi seperti sejarah terbentuknya permukiman, kebiasaan penduduk melakukan migrasi, maupun kebiasaan penduduk yang mengacu kepada adat dalam kaitannya dengan membangun tempat tinggal.

Dalam hal ini terlihat, bahwa terbentuknya pola permukiman banyak dipe­ngaruhi oleh faktor-faktor yang kompleks, tetapi mencerminkan adanya kecende-rungan faktor alam menentukan terhadap kegiatan manusia- Jelas hal tersebut sudah banyak yang tidak berlaku, mengingat kemampuan manusia dalam mengadaptasikan diri
dengan lingkungan sangat dominan, sebagai akibat kemajuan teknologi. Seperti yang dikemukakan oleh Pacione (1984) bahwa pola permukiman merupakan cerminan penyesuaian penduduk terhadap lingkungan alam, seperti topografi, iklim dan tanah. Tingkat penyesuaian tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor sosial ekonomi dan kultur penduduknya_ Dengan demikian, pola tempat kediaman penduduk terbentuknya akan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam, keadaan sosial ekonomi, serta keadaan budaya mereka.
Beberapa faktor pengaruh terhadap persebaran permukiman antara lain:
A. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap compact rural settlement:
Daerah-daerah yang memiliki tanah-tanah subur, dapat mengikut tempat kediaman penduduk dalam satu kelompok.
Daerah-daerah dengan relief yang sama, misalnya dataran-dataran rendah menjadi sasaran penduduk untuk bertempat tinggal.
Daerah-daerah dengan permukaan air tanah yang dalam menyebabkan adanya sumur-sumur yang sangat sedikit, karena pembuatan sumur-sumur itu akan memakan biaya dan waktu yang banyak. Dengan demikian maka sebuah sumber air, dalam hal ini sumur menjadi pemusatan penduduk.
Daerah-daerah dimana keadaan keamanan belum dapat dipastikan, balk karena gangguan binatang maupun gangguan suku bangsa yang sedang bermusuhan dapat berpengaruh terhadap timbulnya pengelompokan tempat kediaman.
B. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fragmented rural settlement:
a- Daerah-daerah banjir dapat merupakan pemisah antara permukiman perdesa­an satu dengan lainnya.

Daerah-daerali dengan topografi kasar menyebabkan rumah penduduk desa tersebar.
Permukaan air tanah yang dangkal memungkinkan pembuatan sumur-sumur di Setiap tempat, sehingga perumahan penduduk dapat didirikan dengan pemilihan tempat yang ada_
Dalamkaitannya dengan pola permukiman tersebut, Pacione (1984) mengemukakan bahwa permukiman yang memusat dipengaruhi oleh faktor kebutuhan akan keamanan atau pertahanan, ikatan keluarga atau marga, kelang-kaan air, kebiasaan dari sistem pembagian waris, datar ekonomi dari hasil pertanian, politik, agama atau ideologi. Sebaliknya untuk permukiman yang tersebar, dipengaruhi oleh faktor-faktor kurang pentingnya pertahanan, kolonisasi yang dilakukan oleh keluarga-keluarga secara individu berdasarkan hubungan darah maupun wilayah, pertanian yang bersifat pribadi, melon perbukitan atau pegunungan, persediaan air yang dangkal, dan penyebaran yang disengaja oleh pemerintah.
Demikian pula Singh (1971), mengklasifikasikan pola permukiman desa atas: compact type, semi compact type dan dispersed type. Faktor-faktor yang mempengaruhi tipe permukiman memusat antara lain permukaan lahan yang datar, lahan yang subur, curah hujan yang relatif kurang, kebutuhan akan kerjasama, ikatan sosial-ekonomi, agama atau kepercayaan, kurangnya keamanan waktu yang lampau, tipe pertanian, lokasi industri dan mineral. Untuk tipe permukiman tersebar berhubungan dengan topografi yang kasar, keanekaragaman kesuburan lahan, curah hujan dan air permukaan yang melimpah, keamanan waktu yang lampau dan susunan kasta Disamping itu dinyatakan, bahwa pola permukiman dipengaruhi oleh lingkungan fisi­kal, seperti relief, sumber air, jalur drainase, kondisi lahan serta kondisi sosial­ekonomi, seperti tats guna lahan, penyakapan lahan, rotasi tanaman, prasarana trans­portasi dan komunikasi serta kepadatan penduduk (Wuryanto Abdullah dan Su Rito Hardoyo, 1981).
Pendapat dan pernyataan di atas menunjukkan adanya tiga kelompok penting dalam pola permukiman, yakni pola mengelompok, pola acak dan pola tersebar merata Selain itu, tampak pula bahwa relief, kesuburan lahan dan sumber air, merupakan komponen lingkungan alam yang dominan dalam mempengaruhi pola permukiman, di samping kondisi sosial-ekonomi dan kebudayaan, seperti tata guns lahan, tipe pertanian, penyakapan lahan, prasarana transportasi dan komunikasi, kepadatan penduduk, lokasi mineral dan industri, keamanan, politik, sistem pembagian waris dan agama atau ideologi.
Ditinjau dari letak ketinggian wilayah, tampak faktor ini mempunyai hubungan yang erat dengan kualitas lahan. Dengan pernyataan lain, semakin meningkatnya letak ketinggian tempat, - menyebabkan semakin berkurangnya lahan-lahan datar. Sandy (1977) menyatakan bahwa di sekitar ketinggian sama dengan atau lebih besar dari 100 meter, biasanya topografi lebih kasar daripada di bawahnya- Dengan demikian berarti, bahwa semakin meningkatnya letak ketinggian tempat di suatu wilayah, maka semakin meningkat pula kekasaran topografinya. Sebaliknya, dari letak ketinggian tempat ini lebih bar yak menunjukkan, bahwa keadaan permukaan air sumur semakin dalam dengan semakin meningkatnya letak ketinggian tempat, sehingga kemungkinan untuk terjadinya pengelompokan permukiman secara teratur maupun penyebaran secara teratur sangat kecil. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya letak ketinggian tempat pada suatu wilayah, pola permukiman semakin tersebar secara tidak teratur.
Adanya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian yang semakin mendesak di daerah pedesaan, mengakibatkan kebutuhan akan lahan pertanian yang lebih besar. Hal ini memaksa, prang atau penduduk untuk menduduki lahan-lahan yang tadinya tidak diperuntukkan bagi permukiman maupun usaha pertanian. Di pihak lain, memaksa penduduk untuk semakin meningkatkan lahan-lahan garap-annya seefektif mungkin. Keadaan ini mendorong para. penggarap untuk berusaha mendekatkan tempat tinggalnya dengan masing-masing lahan garapannya, sehingga mendorong pula untuk tumbuhnya permukiman-permukiman baru bagi lahan pertanian yang terlalu jauh. Sejalan dengan pernyataan Sandy 1977), bahwa kemampuan untuk menempuh jarak di pedesaan, ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk berjalan kaki. Dengan demikian, adanya perluasan lahan pertanian dan peningkatan efektivitas kerja, yang disebabkan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dapat mempengaruhi terhadap penyebaran pola permukiman.
Terdapatnya permukiman dalam artian sempit di suatu wilayah, tentu disebabkan oleh adanya kemungkinan untuk hidup bagi masyarakat kampung yang bersangkutan, sesuai dengan keahlian ataupun ketrampilan mereka-Makin besarnya kemungkinan untuk hidup yang diberikan suatu wilayah, semakin besar pula kemungkinan jumlah manusia yang tinggal di wilayah tersebut, atau semakin besar pula terjadinya pemusatan penduduk wilayah tersebut. Apabila ditinjau dari perkembangan bentuk-bentukpenggunaan lahan untuk usaha pertanian rakyat di pede­saan, sebagaimana dikemukakan Sandy (1977), bahwa perkembangan tertinggi dari usaha pertanian kecil di Indonesia adalah persawahan dengan pengairan teratur, apabila memungkinkan penduduk akan membuat sawah pada medan dengan lereng yang bagaimanapun, baik rawa, lereng gunung dan apalagi daerah datar. Dengan demikian, daerah- daerah usaha pertanian lahan sawah merupakan daerah pusaatan penduduk yang terbesar.
Adanya perbedaan bentuk penggunaan lahan dalam usaha pertanian, dengan sendirinya memerlukan tingkat pengolahan serta tingkat kebutuhan tenaga, kerja yang berbeda-beda pula Dalam hal ini i ditunjukkan bahwa lahan merupakan
Dalam dan jenis penggunaan yang paling intensip. Artinya pemakaian tenaga kerja dalam bentuk usaha lahan sawah akan lebih besar dari usaha pertanian lahan kering, seperti tegalan, kebun campuran maupun usaha perkebunan kecil. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja ini, dilakukan dengan sistem pertukaran jasa. (barter tenaga sesama. mereka). Sejalan dengan pendapat Mubyarto (1977), bahwa tolong menolong lebih banyak terdapat pada pekerjaan dimana dimungkinkan pengembalian pekerjaan yang sama. pada. tanaman yang sama Dengan adanya sistem pertukaran jasa (barter tenaga sesama mereka) dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja ini, menurut Leibo (1986) sebagai penyebab sifat-sifat kelompok primer dalam ketetanggaan masyarakat desa Dengan demikian, besarnya pemakaian tenaga kerja dari besarnya. Sifat kegotongroyongan pada usaha pertanian lahan sawah, menuntut suatu kehidupan sosial yang saling berdampingan antara sesama keluarga petani. Hal ini, menuntut pula terjadinya pengelompokan permukiman pedesaan di sekitar lahan sawah, dan sebaliknya terjadi pola-pola permukiman yang menyebar pada penggunaan lahan pertanian lahan kering.
Berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi pola permukiman, antara lain: kemiringan lahan, ketinggian tempat, kedalaman air sumur, curah hujan, kepadatan penduduk, tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dan persentase luas lahan sawah dari seluruh luas lahan pertanianPenyakapan tanah prasarana transportasi dan komunikasi, lokasi mineral dan industri, sistem pembagian waris, keamanan dan politik agama atau ideologi.